Transcription

13BAB IIKAJIAN PUSTAKAA.Kajian Teoritik1.Teori Fenomenologi Alfred SchutzDalam peta tradisi Teori Ilmu Sosial terdapat beberapa pendekatan yang menjadilandasan pemahaman terhadap gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat.Salahsatu dari pendekatan yang terdapat dalam ilmu sosial itu adalah fenomenologi.Fenomenologi secara umum dikenal sebagai pendekatan yang dipergunakan ialdalammasyarakat.Peranan fenomenologi menjadi lebih penting ketika di tempat secarapraxis sebagai jiwa dari metode penelitian sosial dalam pengamatan terhadap polaperilaku seseorang sebagai aktor sosial dalam masyarakat. Namun demikian implikasisecara teknis dan praxis dalam melakukan pengamatan aktor bukanlah esensi utamadari kajian fenomenologi sebagai perspektif.Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih merupakan tawaran akan cara pandangbaru terhadap fokus kajian penelitian dan penggalian terhadap makna yang terbangundari realitas kehidupan sehari-hari yang terdapat di dalam penelitian secara khususdan dalam kerangka luas pengembangan ilmu sosial. Dengan demikian, fenomenologisecara kritis dapat diinterpretasikan secara luas sebagai sebuah gerakan filsafat secaraumum memberikan pengaruh emansipatoris secara implikatif kepada metode13

14penelitian sosial. Pengaruh tersebut di antaranya menempatkan responden sebagaisubyek yang menjadi aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari.Selanjutnyapemahaman secara mendalam tentang pengaruh perkembangan Fenomenologi itusendiri terhadap perkembangan ilmu sosial belum banyak dikaji oleh kalanganilmuwan sosial.Pengkajian yang dimaksud adalah pengkajian secara historis sebagaisalah satu pendekatan dalam ilmu sosial.Salah satu ilmuwan sosial yang berkompetendalam memberikan perhatian pada perkembangan fenomenologi adalah AlfredSchutz. Ia mengkaitkan pendekatan fenomenologi dengan ilmu sosial.1Posisi pemikiran Alfred Schutz yang berada di tengah-tengah pemikiranFenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah pemikirannyamengandung konsep dari kedua belah pihak.Pihak pertama, fenomenologi murniyang mengandung konsep pemikiran filsafat sosial yang bernuansakan pemikiranmetafisik dan transendental pada satu sisi. Di sisi lain, pemikiran ilmu sosial yangberkaitan erat dengan berbagai macam bentuk interaksi dalam masyarakat yangtersebar sebagai gejala-gejala dalam dunia sosial. Gejala-gejala dalam dunia socialtersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus of interest) darifenomenologi sosiologi. Salah satu ilmuwan sosial yang berkompeten dalammemberikan perhatian pada perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz.Iamengkaitkan pendekatan fenomenologi dengan ilmu sosial.212Schutz, Alfred, 1967, The Phenomenology of The social World, German: Der sinnhafi Aufbau Der Sozialen.Paul Jhonson, Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

15Selain Schutz, sebenarnya ilmuwan sosial yang memberikan perhatian terhadapperkembangan fenomenologi cukup banyak, tetapi Schutz adalah salah seorangperintis pendekatan fenomenologi sebagai alat analisa dalam menangkap segalagejala yang terjadi di dunia ini. Selain itu Schutz menyusun pendekatan fenomenologisecara lebih sistematis, komprehensif, dan praktis sebagai sebuah pendekatan yangberguna untuk menangkap berbagai gejala (fenomena) dalam dunia sosial. Dengankata lain, buah pemikiran Schutz merupakan sebuah jembatan konseptual antarapemikiran fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat sosial danpsikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada tingkatkolektif, yaitu masyarakat.3Menurut Schutz sangatlah penting kesadaran dan ilmu penegetahuan, karena apayang dipaparkan oleh Schutz kalau di analisis dalam politik kekerasan yang terjadi didesa ketapang laok, disana memang sangatlah kurang kesadaran masyarakat dalamberpolitik, karena seandainya mereka sadar mungkin tidak akan terjadi yang namanyakekerasan, seandainya mereka sadar bahwa apa yang dilakukannya itu menyimpangdari hukum agama dan hukum posif mungkin kekrerasan itu tidak akan terjadi, jadikalau disimpulkan atau disingkronkan dengan teorinya Schutx terjadinya kekersan didesa ketapang laok tersebut kurangnya kesadaran dalam masyarakat. Dan juga ilmupenegetahuan, ilmu pengetahuan disini juga sangat penting dalam hidupbermasyarakat kaena ilmu yang akan membawa kita dalam keadaan keteraturan dan3Soekanto, Soerjono. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.

16sebagainya tanpa ilmu kita akan buta atas segalanya. Coba kita bayangkan orang yangmempunyai ilmu pasti akan berbeda dalam bertindak karena orang yang berilmu ituakan lebih banyak berfikir untuk untuk bertindak, akan tetapi dalam kehidupanmasyarakat didesa ketapang laok berpikiran positif itu sanagtlah minim jadi kalaudisimpulakan dengan terjadi politik kekerasan tersebut masyarakat desa ketapangmasih kurang ilmu penegetahuannya khususnya alam ilmu politik, karena seandainyamereka tahu apa sebenarnya politik itu dan tujuan politik kemungkinan besar kejadiankekerasan tersebut bisa tidak terjadi.B.Kerangka Teoritik1.Teori Politik KekerasanMenurut Johan Galtung, kekerasan itu ada bila manusia dipengaruhi olehkeinginan yang kuat untuk menyakiti, sehingga realitas jasmani dan mental aktualnyaberada dibawah realisasi potensialnya 4. Berbicara tentang kekerasan politik, tidakbisa mengabaikan pembahasan tentang kekerasan politik yang terjadi dalampemilihan umum.Kekerasan politik dalam pemilihan umum, telah melanggar hakasasi manusia. Baik kekerasan yang dilakukan antar massa, (horisontal) maupunkekerasan yang dilakukan oleh aparat (vertikal). Ataupun kekerasan personal,maupun kekerasan struktural. Meskipun data yang ada dalam laporan pelanggaran.4Jurnal. Johan Galtung, “Kekerasan, Perdamaian, dan Penelitian Perdamaian”, dalam MochtarLubis, Menggapai Dunia Damai, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1988, hlm, 140.

17Galtung menyatakan bahwa level potensial untuk merealisasikan adalahpengetahuan dan sumber daya. Apabila pengetahuan dan/atau sumber dayadimonopoli oleh kelompok atau kelas atau digunakan untuk tujuan lainnya, makatingkat yang aktual akan turun di bawah yang potensial, dan kekerasan hadir dalamsebuah sistem. Sebagai tambahan atas konsep kekerasan yang tidak langsung ini,Galtung juga menjelaskan bentuk kekerasan langsung, yaitu ketika tujuan untukmelakukan realisasi (seperti integritas fisik/psikologis seperti paramedis, infrastrukturfisik seperti rumah sakit, sekolah) tidak dilakukan namun dirusak. Ketika terjadipeperangan, terjadi kekerasan langsung dimana pembunuhan atau pencideraanseseorang dipastikan menempatkan realisasi somatis aktual (actual somaticrealization) di bawah realisasi somatis potensial (potential somatic realization).Namun dimungkinkan pula terjadi kekerasan tidak langsung, ketika pengetahuan dansumber daya disalurkan jauh dari upaya konstruktif untuk mendekatkan yang aktualkepada yang potensial.5Selanjutnya, Galtung membagi kekerasan dalam tiga kategori, yaitu KekerasanLangsung (antara Pelaku-Korban), Kekerasan Struktural (yang bersumber daristruktur sosial antar orang, masyarakat, kumpulan masyarakat (aliansi, daerah)]), dandibalik keduanya Kekerasan Kultural (simbolis dalam agama, ideologi, bahasa, seni,pengetahuan, hukum, media, pendidikan; gunanya melegitimasi Kekerasan Langsung5Jurnal. Johan Galtung, Violence, Peace, and Peace Research, Journal of Peace Research, Vol 6 No63 (1969), hal.168. Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal. 64-65

18dan Kekerasan Struktural).menyebabkankekerasanKekerasan KulturalLangsung.danKekerasanKekerasan StrukturalLangsungjugamenguatkan/memperburuk Kekerasan Struktural dan Kekerasan Kultural. KekerasanLangsung berupa fisik atau verbal tampil sebagai prilaku yang tidak berubah, karenaakarnya adalah struktur dan budaya.6Pemilihan Umum lebih menunjukan bahwa kekerasan politik dalam pemilihanumum di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh aparat, dengan motif menegakkanhukum.7Hal ini bisa kita lihat dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum yang selaludiwarnai dengan kecurangan-kecurangan politik.Contohnya, pemanfaatan miliknegara oleh golongan tertentu. Meluasnya kolusi antara aparat dengan kontestantertentu untuk mendapatkan kemudahan dalam proses pemilihan umum.Akhirnya, yang lebih memprihatinkan ialah merebaknya intimidasi terhadappemilih supaya menjatuhkan pilihannya kepada kontestan tertentu. 8Bentuk-bentukkekerasan politik dalam pemilu lainnya ialah perusakan fasilitas fisik pemilu,pemukulan, pembunuhan lawan politik dan huru-hara politik. Pengulanganpencoblosan, pengulangan proses perhitungan suara, politik uang yang masih berlakudi beberapa daerah, kecurangan dalam perhitungan suara, adanya saling hujat antarpendukung partai. Dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang lebih ekstrim.Yangkesemuanya termasuk dalam kemungkaran.67Johan Galtung, Violence, Peace, and Peace Research, Ibid, hal. 168-169Arbi Sanit (B), Partai, Pemilu dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997,hlm. 918Ibid, hlm. 86.

19Terjadinya berbagai tindak kekerasan, tidak bisa melepaskan diri dari perannegara terhadap terjadinya kekerasan negara (kekerasan terorganisir).Karenanyakekerasan negara merupakan jenis kekerasan yang perlu mendapat perhatian seriusdari kalangan sipil.Sebab kekerasan negara memiliki kekuatan destruktif sangat besardibandingkan dengan kekerasan tidak terorganisir.Kekerasan ini sulit ditembus olehkekuatan moral dan sosial karena hambatan justifikasi politik hukum yang melekat didalamnya.9Dalam percaturan politik Indonesia saat ini, kekerasan adalah sebuah kataklasikal yang tak asing lagi bagi pendengaran kita.Kata ini mengingatkan kita padasituasi yang kasar, sadis, menyakitkan dan menimbulkan efek negatif.Atau yang biasaditerjemahkan dari bahasa asing (Inggris) violence.Kekerasan menunjukan kata keras,pemaksaan, paksaan.10Johan Galtung juga memaparkan bahwa ketidak adilan yang diciptakan olehsuatu sistem yang menyebabkan terjadinya kekerasan atau tidak mampu memenuhikebutuhan dasarnya yang merupakan konsep kekerasan structural. Model kekerasanyang model seperti ini ditunjukkan oleh rasa tidak aman karena tekanan yangdilandasi oleh kebijakan politik otoriter. Kalau di analisis dengan politik kekerasanyang sudah terjadi desa ketapang laok sangatlah cocok, karena kekerasan terjadi yangsampai ada jatuhnya korban atau ada pembunuhan itu smua salah satuanya karenaketidak adilan yang diciptakan oleh salauh satu calon kepala desa dimana politiknya9Lambang Triyono, Baca Wacana Kekerasan Dalam Masyarakat Transisi, Yogyakarta : Insist, Edisi 9 tahun III.2002, hlm. 75.10Kamus BesarBahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1985. Hlm.717.

20itu tidak memberikan surat undangan terhadap masyarak yang di anggap akan ikutpihak lawan sehingga dengan adanya tidak adanya keadilan yang seperti itumenyebabkan pembunhan.Bentuk-bentuk kekerasan politik dalam pemilu lainnya ialah perusakan fasilitasfisik pemilu, pemukulan, pembunuhan lawan politik dan huru-hara politik.Pengulangan pencoblosan, pengulangan proses perhitungan suara, politik uang yangmasih berlaku di beberapa daerah, kecurangan dalam perhitungan suara, adanyasaling hujat antar pendukung partai. Dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang lebihekstrim.11Pembahasan kekerasan politik pemilihan umum ini, pernah dilakukan Arbi Sanit.Yang mana dalam pembahasannya diawali dengan tipe dan bentuk–bentuk kekerasanpolitik serta berbagai macam retorika politik dalam pemilihan umum.12 Arbi Sanitjuga melihat bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan politik dalam pemilihanumum ini dilatar belakangi oleh tekanan kehidupan yang semakin berat,terabaikannya peran lembaga politik dan tingkat perkembangan sosial politik yangtidak adil. Tekanan kehidupan berupa persaingan lapangan kerja, produksi danpemasaran yang semakin sengit meletakkan warga masyarakat dalam posisi sulit. Disatu pihak perkembangan pendidikan dan informasi melahirkan aspirasi yang lebih11Soetjipto, Indonesia Menjelang Pemilu, dalam Genta Edisi 120 thn. Ke XXXV /19April 1999,Surabaya : Universitas Petra, hlm. 9.12Arbi Sanit (B), hlm. 87.

21luas, kebebasan pribadi dan keluarga yang semakin mendalam. Dilain pihak, kondisiekonomi mereka tidak menunjang realisasi bagi aspirasi yang berkembang tersebut. 13Johan Galtung membagi kekerasan dalam kategori. Pertama, kekerasanstruktural dikenali dari dua ciri: 1). Bersifat vertikal atas kebawah (yang kuat kepadayang lemah, yang berkuasa kepada yang dikuasai, yang besar kepada yang kecil); dan2). Mengandung represi (dominasi, hegemoni, eksploitasi). Kekerasan semacam initerjadi dalam konteks makro, dengan aktor-aktor besar (Negara, militer/aparatkeamanan, non-negara, perusahaan trans-nasional, sindikasi, organisasi). Kedua,kekerasan Horizontal terjadi pada aktor yang „relatif‟ setara dan tidak berdimensivertikal, baik yang terjadi antar-individu (kerabat atau asing) antar-kelompok(keluarga atau bukan keluarga), atau individu versus kelompok vice versa.Sebagaimana konflik struktural, motivasi dasar dari konflik ini adalah kepentinganuntuk melakukan dominasi (penundukan), penguasaan (sumber daya), sertapenegasian. Termasuk didalamnya adalah motivasi pengakuan eksistensi dalamlingkungan atau pada bidang tertentu.Kekerasan ini terjadi dalam bentuk „serangan‟ individual/kelompok, umumnyadengan dasar perbedaan relasi (laki-laki-perempuan, orang tua-anak, atasan-bawahan,benar-salah), identitas (ideologi, agama, suku, ras, afiliasi), atau Keduanya.Pembedaan relasi dan identitas disamping menjadi „alasan pembenar‟ juga dipandang13Ibid, hlm.24.

22efektif untuk menjadi sarana mobilisasi, peningkatan militansi, materi doktrinasimaupun pemicu aksi.Kekerasan Horizontal adalah kepentingan pengakuan eksistensi, kepemilikan,„penegakan‟ hukum/nilai (adat, agama, negara) atau konsensus, diluar dari apa yangsecara resmi mengikat dan sah (beberapa argumentasi „alasan‟ agama tidak bisamenjadi pembenar „kekerasan‟ dalam satu Negara yang sistem politiknya sekulermisalnya). Contoh kasus kekerasan semacam ini adalah pelanggaran pidana(kriminal), pelanggaran perdata, pelanggaran pemenuhan hak-hak (hak publik, hakpribadi, hak karena ikatan tertentu). Tindakan terhadap diri sendiri (bunuh diri danpencideraan misalnya) juga merupakan bagian dari pelanggaran ini.Karenanya solusi efektif dari kekerasan Horizontal adalah penegakan Hukum,Reparasi hak-hak korban, Reinterpretasi atau penguatan hukum dalam kasus-kasusyang berhubungan dengan kelemahan atau ketiadakan hukum, serta perumusankonsensus normatif baru. Dalam kasus kekerasan yang berlarut-larut, biasanya terjadikarena ketiadaan, ketidaktegasan, ketidakjelasan atau ketidakadilan dari proseshukum.Ketiga, Kekerasan sebagai “reaksi normal dalam situasi tidak normal” Kekerasansemacam ini merupakan peristiwa yang tidak mendapat tempat khusus dan eksplisitdalam kajian-kajian di atas, padahal persoalan yang terjadi nyata dan massif.Pengalaman kekerasan di wilayah konflik ataupun kekerasan dengan konteks tertentu

23(pembunuhan dukun santet, pengadilan jalanan) sebagai contoh negatif, danpembelaan diri dalam kasus perampasan aset atau perjuangan kemerdekaan adalahcontoh positif.Dalam konteks ini, „situasi tidak normal‟ yang dimaksud adalah situasi-situasiyang dianggap „bukan seharusnya‟ seperti konflik, kemiskinan, keterasingan, danketertindasan. Kekerasan yang kemudian terjadi bisa sebagai reaksi pelaku atassistem (dinas polisi rahasia yang harus menjalankan tugas eksekusi lawan politikpemerintah, anak yang „dipaksa‟ berperang) atau reaksi korban (serangan terhadappelaku atau simbol-simbol represi, pemberontakan, atau kegilaan).C.Penelitian TerdahuluDalam penelitian ini, menganggap penelitian terdahulu yang dianggaprelevan dan penting untuk dipelajari sebagai referensi dan memberikan pengetahuanyang lebih mendalam lagi bagi peneliti. Penelitian terdahulu yang dianggap relevanoleh peneliti atau telaah pustaka memuat hasil-hasl penelitian sebelumnya yangrelevan dengan penelitian yang dilakukan, dengan maksud untuk menghindariduplikasi. Disampin itu, untuk menunjukkan bahwa topik yang diteliti belum pernahditeliti oleh peneliti lain dalam konteks yangsama serta menjelaskan posisi penelitianyang dilakukan oleh yang bersangkutan. Dengan kata lain, telaah pustaka bertujuanuntuk meletakkan posisi penelitian diantara penelitian-penelitian yang telah ada.

24Penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini diantaranyaadalah :1.Lailatin Fajriyah, yang berjudul “Kekerasan Politik dalam pemilihan umumtahun 1999 di Semarang”. Model kekerasan politik di Dongos terjadi secaraberuntun dan dalam waktu yang singkat.Hal ini terjadi dipicu oleh konflik antarpendukung partai politik dalam pemilu tahun 1999.Menurutnya, konflikkekerasan politik di Dongos tidak terjadi dengan sendirinya, namun dibalikkekerasan politik itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnyakekerasan tersebut. Antara lain, perubahan psikologis massa, ideologisasi agama,tranformasi social politik massa Nahdlatul Ulama, kesenjangan ekonomi, euforiapolitik, dan kedekatan ideologi antar partai.14 Dongos yang berubah menjadikekerasan politik keagamaan, bukan konflik yang dipicu oleh perbedaan agama.Konflik itu terjadi antara simpatisan partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan(PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sama-sama sebagai wargaNahdlatul Ulama.19 Termasuk dalam kekerasan horizontal. Oleh karenanya,berpijak dari kilas balik sejarah peradaban Islam, uraian Arbi Sanit, dan Lailatinpenulis bermaksud membahas tentang kekerasan politik dalam pemilu tahun1999 di Semarang. Dari segi letak geografis, kehidupan ekonomi, sosial budaya,dan politik berbeda dengan ketiga pembahasan terebut di atas. Sehingga besar14Lailatin Fajriyah “Kekerasan Politik dalam Pemilihan Umum Tahun 1999 di Semarang” (Semarang: UINWalisongo, 2003).

25kemungkinan akan mendapatkan data, maupun fakta baru yang berbeda tentangkekerasan politik dalam pemilu.Persamaan : persamaan yang ada antara skripsi peneliti dengan skripsi di atas iniyakni sama sama membahas mengenai politik kekerasan.Perbedaan : perbedaan antara bahasan di atas dengan bahasan peneliti yakni padapembahasannya, jika pada bahasan skripsi di atas itu lebih menekankanpada kekerasan politik pada pemilu,berbeda dengan pembahasanpeneliti, kalau peneliti lebih menekankan pada kekerasan politik dalampemilihan kepala desa di desa ketapang laok kecamatan ketapangkabupaten sampang. berbeda dengan pembahasan peneliti, kalau penelitilebih menekankan pada bentuk kekerasan politik dalam pilkades danmotif terjadinya kekerasan2.Jurnal tentang “Kekerasan Atas Nama Agama Dalam Perspektif Politik”.Kekerasan atas nama agama atau yang menempatkan agama sebagaipembenarannya mendapatkan respon yang bervariasi. Aksi ini bisa karena faktoragama saja dan bisa juga karena politik. Ini bisa bertitik tolak dari pemahamankeagamaan tertentu kemudian oleh muatan politik. Atau sebaliknya muatanpolitik lebih dulu baru diberikan justifikasi agama.1515Jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id jsp view.

26Persamaan : persamaan yang ada antara skripsi peneliti dengan skripsi di atas iniyakni sama sama membahas mengenai kekerasan politik.Perbedaan : perbedaan antara bahasan di atas dengan bahasan peneliti yakni padapembahasannya, jika pada bahasan skripsi di atas itu lebih menekankanpada kekerasan politik pada agama, berbeda dengan pembahasanpeneliti, kalau peneliti lebih menekankan pada bentuk kekerasan politikdalam pilkades dan motif kekerasannya.

memberikan perhatian pada perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz.Ia mengkaitkan pendekatan fenomenologi dengan ilmu sosial.2 1 Schutz, Alfred, 1967, The Phenomenology of The social World, German: Der sinnhafi Aufbau Der Sozialen. 2 Paul Jhonson, Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.